Laman

Saturday 17 April 2010

*Belajar Dari Joko Widodo, Walikota Solo Yang Memimpin Dengan Hati"*

Para Pejabat Publik.. Marilah kita merenung sejenak, mengapa Tragedi Koja Tanjung Priuk bisa terjadi di era demokrasi yang sering diwacanakan oleh Para Politisi negeri ini..

Mungkin pengalaman Walikota Solo, Joko Widodo sedikit memberi gambaran, jika seorang Pemimpin mampu menyelaraskan hati dan jiwa'nya didalam mengemban amanah untuk memberikan kemaslahatan bagi rakyat banyak..

JOKO WIDODO, WALI KOTA SURAKARTA, Walikota Kaki Lima

SEMUANYA berawal pada 2005. Joko Widodo, yang baru dilantik menjadi Wali Kota Surakarta, membentuk tim kecil untuk mensurvei keinginan warga kota di tepian Sungai Bengawan itu. Hasilnya, kebanyakan orang Solo ingin pedagang kaki lima yang memenuhi jalan dan taman di pusat kota disingkirkan.

Joko bingung. Ia tak ingin menempuh cara gampang, dengan memanggil polisi dan tentara, lalu usir pedagang itu pergi. "Dagangan itu hidup mereka. Bukan cuma untuk perut mereka sendiri, tetapi juga untuk keluarga dan anak-anak mereka" katanya.

Tak bisa tidak, para pedagang itu harus direlokasi. Tapi bagaimana caranya? Tiga Walikota sebelumnya angkat tangan. Para pedagang kaki lima mengancam akan membakar kantor Walikota kalau digusur. Di Solo, ancaman bakar bukan omong kosong. Sejak dibangun, kantor Walikota sudah dua kali, yaitu pada tahun 1998 dan 1999-dihanguskan oleh massa.

Lalu munculah ide, untuk meluluhkan hati para pedagang, mereka harus diajak makan bersama. Dalam bisnis, jamuan makan yang sukses biasanya berakhir dengan kontrak yang bagus. Sebagai eksportir furniture selama 18 tahun, Joko tahu betul ampuhnya strategi "lobi meja makan". Maka rencana disusun. Target pertama adalah kaki lima di daerah Banjarsari-kawasan paling elite di Solo. Di sana ada 989 pedagang yang bergabung dalam 11 paguyuban.

Aksi dimulai. Para koordinator paguyuban diajak makan siang di Loji Gandrung, rumah dinas Walikota. Tahu hendak dipindahkan, mereka datang membawa pengutus lembaga swadaya masyarakat. Joko menahan diri untuk tidak mengungkapkan keinginannya menyampaikan rencana relokasi tsb.

Seusai makan, Joko mempersilakan mereka pulang. Para pedagang kaki lima kecele. "Enggak ada dialog, Pak?" tanya mereka. "Enggak. Cuma makan siang saja kok" jawab Joko santai dan ramah.

Tiga hari kemudian, mereka kembali diundang. Lagi-lagi cuma SMP - sudah makan pulang. Ini berlangsung terus selama tujuh bulan. Baru pada jamuan ke-54, saat itu semua pedagang kaki lima yang hendak dipindahkan hadir, lalu Joko pun mengutarakan niatnya. "Bapak-bapak yang baik, mohon maaf sebelumnya jika tempat Bapak-bapak berdagang hendak saya pindahkan" katanya ramah dan tetap santai, seluruh pedagang kali lima tidak ada yang membantah.

Para pedagang minta jaminan, di tempat yang baru, mereka tidak kehilangan pembeli. Joko tak berani. Dia cuma berjanji akan mengiklankan Pasar Klitikan-yang khusus dibangun untuk relokasi-selama empat bulan di televisi dan media cetak lokal. Janji itu dia tepati. Pemerintah kota juga memperlebar jalan ke sana dan membuat satu trayek angkutan kota.

Terakhir, mereka minta kios diberikan gratis. "Ini berat. Saya sempat tarik-ulur dengan Dewan," kata Joko. Untungnya, Dewan bisa diyakinkan dan setuju. Jadilah para pedagang tak mengeluarkan uang untuk kios barunya. Sebagai gantinya, para pedagang harus membayar retribusi Rp 2.600,- perhari. Joko yakin dalam delapan setengah tahun modal pemerintah Rp 9,8 miliar bisa kembali.

Boyongan pedagang dari Banjarsari ke Pasar Klitikan pada pertengahan tahun lalu berlangsung meriah, karena dibuat seperti pawai tujuhbelasan, dengan riang gembira para pedagang membawa barang dagangannya ke tempat yang baru. Bukannya dikejar-kejar seperti di kota lain, mereka pindah dengan senyum rasa bangga. Semua pedagang mengenakan pakaian adat Solo dan menyunggi tumpeng-simbol kemakmuran. Mereka juga dikawal prajurit keraton berpakaian lengkap.

"Orang bilang mereka nurut saya karena sudah diajak makan. Itu salah. Yang benar itu karena mereka diwongke, dimanusiakan. ." kata Joko.

Joko yang saat Pilkada diusung oleh PDIP sangat membela wong cilik, "Sebenarnya pekerjaan ini bukan perkara sulit" Pokoknya, pimpinlah mereka dengan hati. Hadapi mereka sebagai sesama, bukan sampah," ujarnya.

Kini warga Solo kembali menikmati jalan yang bersih, indah, dan teratur. Monumen Juang 1945 di Banjarsari kembali menjadi ruang terbuka hijau yang nyaman.

Berhasil dengan Banjarsari, Joko merambah kaki lima di wilayah lain. Untuk yang berada di jalan depan Stadion Manahan, sekitar 180 pedagang, dibuatkan shelter dan gerobak. Penjual makanan yang terkenal enak di beberapa wilayah dikumpulkan di Gladag Langen Bogan Solo, Gandekan. Lokasi kuliner yang hanya
buka pada malam hari dengan menutup separuh Jalan Mayor Sunaryo tersebut sekarang menjadi tempat jajan paling ramai di kota itu.

Hingga kini, 52 persen dari 5.718 pedagang kaki lima sudah ditata. Sisanya mulai mendesak pemerintah kota agar diurus juga. "Sekarang kami yang kewalahan karena belum punya dana," kata Joko, tertawa. Tapi rencana terus jalan. Januari lalu telah dibuat Pasar Malam di depan Keraton Mangkunegaran untuk 450 penjual barang kerajinan.

Joko juga punya perhatian khusus pada pasar-pasar tradisional yang selama 30-an tahun tak pernah diurus. Tiga tahun terakhir, 12 pasar tradisional ditata dan dibangun ulang. Targetnya, ketika masa jabatannya berakhir pada 2010, sebagian besar dari 38 pasar tradisional Solo telah dibangun ulang.

Ketika masih mengelola sendiri usaha Furniturenya, Joko sering bepergian untuk pameran. Dia banyak melihat pasar di negara lain. Di Hong Kong dan Cina, menurutnya, pengunjung pasar jauh lebih banyak dari mal. Itu karena pasar tradisional komplet, segar, dan jauh lebih murah.

Di sini kebalikan. Ibu-ibu lebih suka ke mal karena pasarnya kotor dan berbau. "Makanya pasar saya benahi" katanya. Agar lebih menarik, tahun 2010 ini telah dibuat promosi: belanja di pasar dapat hadiah mobil.

Toh, tak sia-sia Joko ngopeni pedagang kecil. Meski modal cetek, pasar dan kaki lima di Solo paling banyak merekrut tenaga kerja. Mereka juga penyumbang terbesar pendapatan asli daerah. Tahun ini nilai pajak dan retribusi dari sektor itu mencapai Rp 14,2 miliar. Jauh lebih besar dibanding hotel, Rp 4 miliar, atau terminal, yang hanya Rp 3 miliar.

Joko Widodo lahir di Surakarta, 21 Juni 1961, Pendidikan Sarjananya dari Fakultas Pertanian Jurusan Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1985) Kariernya berawal dari karyawan pada perusahaan Furniture Roda Jati, Pendiri Koperasi Pengembangan Industri Kecil Solo (1990) - Ketua Bidang
Pertambangan dan Energi Kamar Dagang dan Industri Surakarta (1992-1996) - Ketua Asosiasi Permebelan dan Industri Kerajinan Indonesia Surakarta (2002-2007) - Wali Kota Surakarta (2005-2010)

Penghargaan yang pernah diperoleh adalah - Kota Pro-Investasi dari Badan Penanaman Modal Daerah Jawa Tengah - Kota Layak Anak dari Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan - Wahana Nugraha dari Departemen Perhubungan - Sanitasi dan Penataan Permukiman Kumuh dari Departemen Pekerjaan Umum.

Tahun 2010 ini, Pemilihan Walikota Solo pengganti Joko akan berlangsung. Tanpa kampanye yang menghamburkan uang dan melelahkan, seluruh masyarakat Kota Solo meminta agar Joko kembali memimpin mereka. Tetapi Joko memilih untuk tidak mencalonkan kembali, menurutnya, masih banyak calon Pemimpin
baru yang mampu menggantikan dirinya. Yang terpenting bagi Joko adalah, dia telah membangun fondasi terpenting untuk Kota Solo, tanah kelahirannya. .
Dari Milis Tetangga...!!!! (Sumber Tidak Trcantum..!!)

3 comments:

  1. semoga dapat di tiru oleh para pemimpin daerah lainnya

    ReplyDelete
  2. bagus nih,,
    bener2 memberi solusi,,
    bukan mengganti masalah yang ada dengan masalah yang baru,, apalagi dengan arogan,,

    ReplyDelete
  3. Semoga para pemimpin di negeri ini bisa belajar dari bapak... Alhamdulillah masih ada pemimpin seperti bapak di Indonesia ...

    Pak Joko... aku pada mu... heheheh

    ReplyDelete